Selasa, 25 Oktober 2011


BUKU : 30 JUZ DALAM GENGGAMAN
Judul Buku   : 30 Juz dalam genggaman
Pengarang    : Dr H Ahmad Faiz Ahmad
Penerbit        : Pustaka Balqis
ISBN               : 978 602 97397 25
Buku 30 juz dalam gengaman merupakan intisari pengalaman penulis selama bertahun-tahun berkecimpul dalam dunia hafal menghafal Al Qur’an ang dipadukan dengan ilmu penulis yang memang cukup luas. Jadi, buku ini sangat penting. Di dalamnya, penulis berusaha menggugah hati anda untuk menghafal Al Qur’an dengan alasan-alasan yang meyakinkan.
Menurut teori, seberat atau sesulit apapun pekerjaan jika dikerjakan dengan sabar, sedikit demi sedikit pasti akan selesai. Begitu pula halnya dengan Al Qur’an. Menghafal Al Qur’an bukanlah hal yang mustahil. Jika ayat-ayat dalam Al Qur’an dihafal sedikit demi sedikit, insya Allah 30 juz akan selesai dan berada dalam genggaman. Singkat kata, dari buku ini, anda akan mendapatkan informasi berharga mengenai :
-         Mudahnya menghafal Al Qur’an
-         Keutamaan menghafal Al Qur’an
-         Metode Menghafal Al Qu’an
-         Metode mengulang hafalan
-         Nasihat-nasihat penting seputar menghafal Al Qur’an
-         Silsilah keilmuan penghafal Al Qur’an
Bacalah buku ini, anda akan merasakan sendiri nikmatnya menghafal Al Qur’an

Rabu, 19 Oktober 2011


IBADAH HAJI ITU MUDAH

Banyak keistimewaan yang dimiliki oleh ibadah haji jika dibandingkan dengan ibadah-ibadah lainnya, diantaranya :
1.       Dari segi kewajiban, hanya wajib sekali dalam seumur hidup.
2.       Dari segi pahala, haji mabrur langsung mendapatkan surga Allah
3.       Dari segi tempat, haji hanya dapat dilakukan ditanah suci dan waktu khusus karena inti haji adalah wukuf di arafah pada tanggal 9 Dzulhijjah
4.       Dari segi bentuk ibadah, haji adalah gabungan antara ibadah badan dan ibadah harta
5.       Dari segi kemuliaan, orang yang melakukan ibadah haji adalah tamu Allah.
6.       Dari segi ancaman, orang yang tidak melakukan ibadah haji padahal ia mampu maka disuruh memilih  meninggal secara yahudi atau nashrani.
Begitu besarnya keistimewaan ibadah haji maka wajar kalau orang yang telah melakukan ibadah haji memiliki keistimewaan dibanding melakukan ibadah-ibadah lainnya. Namun masih ada diantara kita yang belum tergerak hatinya untuk melakukan ibadah haji padahal dari sisi badan dan harta tergolong orang yang mampu dengan berbagai alasan, diantaranya :
1.    Belum mampu karena biaya ibadah haji mahal. Alasan ini tidak dapat diterima, karena :
a.       Allah telah berhusnudzan bahwa setiap orang beriman mampu untuk melakukan ibadah haji karena Allah tidak memberikan kewajiban diluar kemampuan manusia. Sayangnya diri kita sendiri yang berburuk sangka bahwa kita tidak mampu. Penegasan ibadah haji bagi yang mampu karena dapat melakukan ibadah haji membutuhkan kemantapan hati yang lebih besar dibanding melakukan ibadah lainnya.
b.      Biaya Ibadah haji tidak mahal karena :
1.       Pahala beribadah di tanah suci berbeda dengan beribadah di tempat lain. Sebagai contoh: shalat di masjid al haram dilipatgandakan menjadi 100.000 kali dan shalat di masjid nabawi dilipat gandakan menjadi 1000 kali. Orang yang shalat lima waktu di masjid al haram selama 20 hari dan shalat lima waktu di masjid nabawi selama 8 hari sama dengan orang shalat selama  5501 tahun  di tempat lain.
2.       Uang yang digunakan untuk beribadah pasti akan diganti oleh Allah jika dilakuan dengan ikhlas.
2.    Belum mendapat panggilan haji. Alasan ini tidak dapat diterima karena Allah memerintahkan Nabi Ibrahim untuk memanggil seluruh manusia tanpa terkecuali untuk melakukan ibadah haji. Namun banyak diantara kita yang tidak memasang hatinya untuk menjawab panggilan tersebut karena malas beribadah, jarang berkumpul dengan orang shaleh, sibuk dengan urusan dunia.
3.    Belum siap secara mental karena merasa banyak dosa dan belum sempurna dalam beribadah. Alasan ini tidak dapat diterima karena :
a.       Sebanyak apapun dosa yang  dilakukan oleh seseorang pasti akan diampuni oleh Allah jika orang tersebut mau memohon ampunan. Pintu dosa senantiasa terbuka selama matahari belum terbit dari barat dan nafas belum sampai tenggorokan.
b.      Kesempurnaan beribadah justru diharapkan dapat terwujudkan setelah melakukan ibadah haji. Pelaksanaan ibadah haji merupakan tapak tilas perjalanan orang shaleh. Dengan melakukan apa yang dilakukan oleh orang shaleh diharapkan menjadi orang shaleh.
Agar kita tidak termasuk dalam ancaman orang yang tidak melakukan ibadah haji padahal mampu, hendaknya kita mantapkan niat untuk melakukan ibadah haji yang disertai aksi menyisihkan sebagian penghasilan kita. Jika sudah niat dan menyisihkan harta dan ternyata sampai akhir hayat belum mampuj melakukan ibadah haji berarti kita sudah memiliki bukti usaha bahwa kita tidak mampu.

Jumat, 14 Oktober 2011


SIKAP TERHADAP IJTIHAD PARA ULAMA [1]
Dalam hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari Muslim terungkap bahwa Rasulullah mengingatkan untuk senantiasa berpegang teguh dengan Al Qur’an dan hadits agar tidak terjerumus dalam kesesatan. Namun hal ini tidak berarti segala masalah disebutkan secara rinci dalam Al Qur’an dan Hadits. Al Qur’an hanya turun dalam kurun 23 tahun sementara permasalahan terus terjadi hingga datangnya hari kiamat.
Al Qur’an dan hadits tidak memuat semua masalah secara rinci diakui oleh Rasulullah sebagai terungkap dalam dialog antara Rasulullah dengan Muadz bin Jabal saat akan dikirim ke Yaman. Rasulullah membolehkan Muadz bin Jabal berijtihad dengan menggunakan ra’yu ketika suatu masalah tidak ditemukan jawabannya dalam Al Qur’an dan Hadits. Para sahabat merupakan penerus dakwah Islam setelah wafatnya Rasulullah. Mereka menemukan banyak permasalahan baru yang jawabannya secara eksplisit tidak terdapat dalam Al Qur’ān bahkan sunnah Rasul. Kondisi ini memotivasi para sahabat untuk mencurahkan segala daya dan kemampuan yang mereka miliki untuk menjawab permasalahan-permasalahan baru yang terjadi saat itu karena hukum Islam bersifat sempurna, universal, elastis, sistimatis dan dinamis sehingga problematika kehidupan dapat diselesaikan sesuai dengan koridor Islam. Metode penetapan hukum dalam agama Islam sebagai penjabaran penggunaan ra’yu yang dibolehkan oleh Nabi Muhammad dibakukan pertama kali oleh Imam Syafi’i dan diikuti oleh ulama madzhab lainnya berdasarkan pengamatan hukum yang ada dalam Al Qur’an, Hadits Rasulullah dan ijtihad yang dilakukan oleh generasi sahabat dan tabi’in. Arti bermazhab kepada salah satu imam contohnya imam syafi’i artinya metode berijtihad imam tersebut cocok menurut kita. Bermazhab kepada salah satu imam berarti mengikuti salaf shaleh karena mereka masuk tergolong tabi tabiin.
Hukum adalah milik Allah. Ulama hanya berusaha untuk menetapkan hukum suatu masalah sesuai dengan hukum Allah. Keputusan hukum yang diambil oleh qadhi atau mujtahid tidak dapat menghalalkan apa yang diharamkan oleh Allah dan tidak dapat  mengharamkan apa yang dihalalkan oleh Allah. Hukum yang diikuti oleh seseorang adalah hukum yang menurut pandangannya memiliki dasar yang rajih/yang kuat bukan yang marjuh/tidak kuat.
Dalam menetapkan hukum, setidaknya ada empat faktor yang mempengaruhi hasil keputusan seorang mujtahid selain metode penetapan hukum yang menjadi acuannya. Keempat  faktor tersebut adalah:
  1. Kepribadian mujtahid. Faktor ini berpengaruh karena Nabi melarang hakim dalam keadaan marah untuk menetapkan hukuman.
  2. Kapabilitias mujtahid. Faktor ini berpengaruh karena di antara penyebab tidak tepatnya keputusan qādi dan menyebabkannya masuk ke dalam neraka disebabkan sang qādi tidak memiliki kapabilitas untuk berijtihad.
  3. Kemaslahatan manusia. Faktor ini berpengaruh karena taklif bermuara pada kemaslahatan manusia baik di dunia dan di akhirat dalam bentuk menghindari kerusakan dan menarik manfaat  (dar’ al mafāsid wa jalb al manāfi’)
  4. Waktu dan tempat. Faktor ini berpengaruh karena fatwa dapat berubah karena perubahan zaman, tempat, keadaan dan kebiasaan. Waktu dan tempat bisa disebut dengan kondisi sosial.
Tepat atau tidaknya hukum yang diusahakan oleh para ulama dengan hukum Allah, mereka tetap mendapatkan pahala sebagaimana diriwayatkan oleh Imam Muslim. Terhadap hasil ijtihad yang dilakukan oleh para ulama seperti masalah maulid hendaknya disikapi dengan baik sangka (husnudzan) dan kritis. Para ulama tidak ma’shum seperti tapi mereka pasti memiliki pijakan dalam menetapkan hukum, tidak gegabah dan ummat  Islam tidak akan sepakat dalam kesesatan. Perbedaan pendapat hanya dalam masalah cabang (furu’iyyah) bukan hal yang pokok (ushuliyyah) seperti  yang terjadi dalam agama lain. Perbedaan pendapat adalah hal yang wajar dan rahmat dari Allah karena perbedaan sudut pandang dan metodologi yang digunakan dalam penetapan hukum.


[1] Disampaikan oleh Dr. H. Ahmad Faiz Ahmad, Lc. M.Ag pada hari ahad 28 Ramadhan 1432 H / 28 Agustus 2011 dalam acara dialog intraktif di Masjid al Taubah Pancoran Jakarta Selatan